Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

4 Varian Rasa Unik Kit Kat di Jepang

Di sela-sela waktu menunggu penerbangan di bandara Narita terminal 3, ada toko yang menjual oleh-oleh khas Jepang, mulai dari makanan, kartu pos, gantungan kunci hingga baju tradisional.   Hal yang menarik adalah ada beberapa tumpuk Kit Kat dengan berbagai varian rasa. Sebelumnya menurut banyak artikel di Internet, perusahaan Nestle di Jepang emang produksi beragam jenis Kit Kat. Sekarang saja ada lebih dari 20 varian dari sekitar 80 varian yang pernah diproduksi. Dengar-dengar, setiap kota atau prefecture punya rasa kit katnya yang khas. Selama ini yang Saya temukan di Combini (Singkatan Convenience Store, semacam Alfamart dan Indomart di Jepang) dan Toserba semacam Don Quixote Cuma ada rasa Green Tea dan coklat, paling banter juga rasa cheese cake.  Kebetulan di toko itu ada varian lain yang berlum pernah Saya liat, yaitu rasa Hokkaido Red Bean, Wa- Ichigo, Uji Matcha, dan Sakura Matcha. Harga jual perkotak 160 yen (biar gampang anggap 1 yen = 100 rupiah, lebih kurang har

Cerita dari Yamdena

Narasi di bawah merupakan studi kasus perihal konservasi lingkungan di kepulauan Tanimbar yang didapatkan dari perkuliahan manajemen stakeholder: Setelah Oil Boom pada tahun 1970-an, perekonomian nasional Indonesia mulai melirik hutan. Bisa dimaklumi, karena cadangan minyak bumi semakin tipis (diperkirakan akan mencapai ambang batas produksi tidak lebih dari 25 tahun lagi), juga karena harga minyak bumi di pasar internasional juga terus menurun, sementara sektor manufaktur dan sektor industri non-migas lainnya belum bisa diandalkan. Maka, pada dasawarsa 80-an, industri kehutanan menjadi primadona baru untuk ekspor nasional. Pulau-pulau besar yang kaya hutan (Kalimantan, Papu Barat, Sumatera dan Sulawesi) segera menjadi sasaran utama investasi. Tapi, seperti juga minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui ( non-renewable resources), hasil hutan juga segera menipis menjelang akhir 80-an. Tetapi, roda pembangunan ekonomi yang rakus sumber daya alam