Dalam rangka merayakan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-80, Indonesian Chamber of Commerce di Western Australia menyelenggarakan beberapa rangkaian kegiatan. Salah satunya ada pemutaran film Susi Susanti Loveall dan diskusi dengan Ibu Susi Susanti. Saya diajak Bu Anggi, guru di Peter Moyes Anglican Community School (PMACS), untuk menonton pada hari Selasa, 19 Agustus 2025.
Setelah pulang sekolah jam 15, kami langsung berangkat ke Kota Perth dengan menumpang Bu Hara, guru high school di PMACS, yang rumahnya ada di daerah Perth CBD (Central Business District). Pemutaran film dimulai pukul 19. Jadi kami punya waktu untuk jalan-jalan sedikit di pusat kota.
Setelah menyantap ramen yang kata Bu Anggi populer, kami berangkat ke tempat acara di University of Western Australia (UWA). Bu Anggi yang merupakan lulusan dental nurse di kampus UWA dengan nada nostalgia bercerita tentang kampus dan aktivitas ketika masih kuliah. Katanya kalau sore ada lumba-lumba air tawar yang menampakkan diri di sungai sekitar kampus.
Pemutaran film
bertempat di Round Theater. Ketika datang, saya dikenalkan oleh Bu Maya, salah
seorang guru high school di PMACS juga, dengan beberapa tokoh masyarakat
Indonesia di sana. Saya juga bertemu dengan Albi (Albizia Akbar), duta bahasa Indonesia lainnya
yang ternyata sedang bertugas di dua sekolah di Perth. Panitia menyediakan foto
booth untuk mengambil gambar dengan properti yang heboh.
![]() |
Bertemu dengan Sesama Duta Bahasa yang Ditugaskan di Western Australia |
Jam 19 penonton dipersilakan masuk. Jadwal awal adalah menonton film bersama, kemudian diskusi dengan Bu Susi. Namun, ada perubahan jadwal dari Batik Air. Penerbangan Bu Susi pulang ke Indonesia malam itu dipercepat. Jadi panitia memutuskan untuk memajukan sesi tanya jawab terlebih dahulu, kemudian baru memutarkan film.
Hal yang menarik dari sesi diskusinya adalah panitia menggunakan fitur AI (Artificial Intelligence) untuk live translation. Tanya jawab dilakukan dalam bahasa Indonesia, tetapi pengujung bisa langsung membaca terjemahan ke dalam bahasa Inggris di layar. “Canggih juga teknologi sekarang”, pikir saya.
Bincang-Bincang dengan Bu Susi Sebelum Film Diputar
Waktu talkshow terbatas. Di awal sang moderator bilang mau menanyakan dua pertanyaan lalu kemudia mempersilakan satu pertanyaan dari penonton. Nyatanya, dia mengajukan lima pertanyaan berturut-turut dan harus mengakhiri sesi tanpa memberikan kesempatan penonton ikut bertanya karena keterbatasan waktu. “Yaah, penonton kecewa,” seru saya di dalam hati.
Saya tidak punya ekspektasi apa-apa tentang film tersebut. Saya pun tidak terlalu kenal dengan pribadi dan latar belakang Bu Susi. Hal yang saya tahu adalah Bu Susi menjadi pahlawan badminton saat menyumbangkan medali emas pertama untuk Indonesia di olimpiade. Namun ternyata film membuat pandangan saya berubah.
Film biografi ini menceritakan tentang perjalanan seorang atlet badminton Susi Susanti dari Tasikmalaya sampai menjurai liga olahraga dunia. Kata Bu Susi, akurasi ceritanya sampai 80%. Sisanya adalah adegan hiperbola berdasarkan saran dari sutradara agar “cerita lebih menarik”. Judul film Love All diambil dari kalimat memulai pertandingan yang disampaikan oleh juri. Maksudnya skor kedua pihak yang bertanding dimulai dengan nol.
Secara umum film ini menggambarkan kondisi bulu tangkis di Indonesia di zaman orde baru Ada juga fakta-fakta unik yang saya tidak ketahui sebelumnya. Misalnya banyak warga Indonesia yang tidak dapat pulang akibat pemerintahan Soekarno digantikan Soeharto. Pelajar-pelajar Indonesia yang sedang studi di luar negeri, terutama di negara-negara yang menganut paham komunis, malah membahayakan diri dan keluarganya jika mereka kembali ke tanah air. Sebagian orang Indonesia yang akhirnya menetap di Tiongkok menjadi pelatih badminton yang menghasilkan banyak atlit kelas dunia. Ditambah lagi sulitnya mendapatkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) di masa itu.
![]() |
Hasil Cetakan Foto di Photobooth |
Hal lain yang ternyata mengejutkan adalah bahwa tim badminton Indonesia malah dapat perlakukan buruk ketika bertanding di Hong Kong. Sebelumnya terjadi kerusuhan besar pada bulan Mei 1998. Targetnya warga keturunan Tionghoa, terutama di daerah Jakarta. Mahasiswa di Hong Kong berdemo tentang perlakuan brutal dan jahat terhadap orang-orang Indonesia dari sesama warga Indonesia. Jadi tim Indonesia yang datang untuk bertanding kena amuk masa juga. Bu Susi sempat down ketika itu. Namun sebelum bertanding akhirnya bisa pulih karena dukungan para TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Hong Kong. Saya jadi ingat ketika masih studi di sana, banyak mendapatkan support moral dan material dari para pekerja migran di sana.
Film ini memang tepat diputar saat memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Nilai-nilai nasionalisme dan edukasi sejarah, dikemas dengan pas. Ditambah lagi ada sentuhan humor yang bisa dipahami semua generasi. Semoga pemutaran semakin banyak warga Indonesia maupun orang lain yang tertarik untuk belajar Indonesia dapat berkesempatan menyaksikan film ini juga.
Komentar
Posting Komentar