Indi yang mengambil jurusan linguistik memilik proyek capstone
untuk mengajarkan lagu-lagu daerah kepada mahasiswa USYD. Dia meminta duta
bahasa ILLA (Indonesian Language Learning Ambassador) di USYD untuk
membantunya memilih lagu daerah, menemukan makna yang sesuai, dan menyanyikan
bersama di salah satu kelas Indonesian Studies.
Ada lima orang yang akan berbagi lagu daerah. Saya yang mewakili Jawa Barat, Agung Elang dari Kalimantan Barat, Ekky yang berdarah Minang, Soli yang berasal dari Sumba, serta Indi yang akan membawakan lagu Papua. Indi sebenarnya dari Pontianak, tetapi meminta tolong KP yang asli Papua untuk memilih lagu dari sana. Daftar final lagu yang dibawakan adalah “Kampuang Nan Jauh di Mato”, “Cik Cik Periuk”, “Tokecang”, “Bolelebo”, dan “Mambo Simbo”.
Ketika Indi konsultasi mengenai makna lagu “Tokecang”, saya awalnya tidak begitu tahu. Hal yang saya ingat adalah singkatan Tokecang = tokek makan kacang, yang sering jadi bahan bercandaan saat SD. Saya jadi mencari tahu lebih lanjut dan kemudian menemukan bahwa maknanya adalah agar tidak rakus. Ada tokek yang menghabiskan satu kendi berisi sayur kacang sendirian, tidak menyisakan sedikitpun untuk yang lain. Sifat rakus ini bisa mencelakakan kita.
Saya juga jadi tahu arti lagu lainnya. “Kampuang Nan Jauh di Mato” menceritakan tentang rindu kampung halaman. “Cik Cik Periuk” mengandung makna tentang asimilasi budaya warga asli dengan pendatang. “Bolelebo” mempunyai lirik yang artinya baik ataupun tidak baik jika dibandingkan tempat lain, Tanah Timur sebagai kampung halaman akan selalu lebih baik. Lagu “Mambo Simbo”, yang saya baru pertama mendengarnya, tentang seorang ibu yang memanggil-manggil anaknya, Mambo, yang tersesat di hutan.
Ketika bertanya kenala lagu dari Papua tidak memilih “Yamko Rambe Yamko” yang lebih populer, KP via Indi mengatakan bahwa warga Papua sendiri tidak yakin bahwa lagu tersebut merupakan asli dari sana. Kasusnya mirip seperti sebagian orang Aceh tidak mengakui “Bungong Jeumpa” sebagai lagu daerahnya.
Sebelum tampil, kami diskusi terlebih dahulu. Tim janjian untuk bertemu hari Kamis sore di salah satu restoran Italia di daerah Enmore. Setelah mengobrol rencana dan berbagi tugas, kami berlatih singkat. Kebetulan meja kami terletak di pinggir jalan. Di sana bertepuk-tepuk tangan sambil menyanyikan lirik yang asing bagi pengunjung. Kami tidak menggunakan audio dari YouTube karena ingin menjaga tempo yang sama sepanjang lagu, yang dibentuk dari tepukan tangan bersama.
Saat mencoba bernyanyi kami sempat memikirkan bagaimana kira-kira penutup lagu yang pas. Kalau bisa yang cerita dan nadanya mengangkat. Akhirnya diputuskanlah untuk menambahkan bagian ‘Caca marica’ dari lagu “Anak Kambing Saya” karena akhirnya ada seruan ‘hey!’.
Saat hari-H 24 Oktober, kami janjian pakai aksesoris Indonesia. “Tapi jangan terlalu heboh,” kata Ekky. Sesi pengajaran lagu ini bukanlah sesi kelas terakhir. Puncaknya adalah presentasi final tanggal 7 November yang akan mengundang staf KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) di Sydney. Barulah ketika itu kostumnya bisa all-out.
Peserta kelas berjumlah 13 orang. Semuanya mahasiswa bachelor degree. Kami mendapatkan waktu 30 menit untuk sesi lagu daerah ini. Jam 11.30 siang, kami dipersilakan masuk oleh Kang Rudy yang menjadi tutor kelasnya.
Pemandangan yang tidak biasa ketika ada lima orang dengan aksesoris daerah masuk kelas bersamaan. Para mahasiswa terlihat antusias. Kami menjelaskan tujuan dan struktur kelas terlebih dahulu, kemudian mendemonstrasikan menyanyikan di depan kelas. Total menyanyinya hanya kurang lebih satu menit.
![]() |
| Bersama Peserta Kelas Tutorial Indonesian Studies |
Masing-masing duta bahasa memegang dua sampai tiga orang. Lily dan Azael menjadi yang terpilih untuk belajar lagu “Tokecang” bersama saya. Pertama, saya menyampaikan tentang makna lagu dan kapan biasanya lagu tersebut dinyanyikan (saat permainan anak-anak seringkali. Lirik yang dilatihkan hanya:
Tokecang tokecang
Balagendir tos blong
Angeun kacang angeun kacang
Sapariuk kosong
Pertama saya contohkan dulu menyanyi liriknya tiga kali, kemudian mahasiswa diminta bergumam nadanya. Baru setelah dapat feel nada lagunya, ditambahkan lirik. Saya juga mengacarkan cara membaca ‘eu’ Sunda yang agak berbeda dengan e dan è dalam bahasa Indonesia.
Setelah 10 menit, waktunya mahasiswa menampilkan hasil latihan. Hasilnya cukup bagus. Dengan waktu yang terbatas, para mahasiswa bisa menyanyikan seluruh lirik lagu.
Dengan mengajarkan lagu daerah dapat menambah wawasan peserta bahwa selain bahasa nasional, Indonesia juga kaya akan bahasa daerah yang beragam. Walaupun dengan berbagai perbedaan, negara ini bisa tetap bersatu. Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional yang membuat orang-orang dari beragam etnis dan suku bangsa bisa komunikasi dan saling memahami.

Komentar
Posting Komentar