Sebagian besar populasi Indonesia merupakan
lactose intolerant, termasuk saya. Kondisi ini adalah ketika tubuh tidak
dapat memecah protein laktosa—yang biasanya terdapat dalam susu dan produk
turunannya—secara sempurna. Akibatnya bisa kembung, mual, atau, maaf, mencret.
Walaupun demikian saya tetap suka meminum susu, terutama dari sapi.
Mulai beberapa tahun belakangan cukup
popular produk yang dipromosikan sebagai pengganti susu sapi bagi yang tidak
memiliki toleransi tinggi terhadap laktosa, atau punya pola diet khusus,
seperti vegan dan vegetarian. Bahan baku minuman ini dari tumbuhan. Jenis yang
paling popular ada susu gandum (oat milk) dan susu kedelai (soy milk).
Terdapat juga olahan susu yang dibuat dari kacang almond (almond milk) dan
beras (rice milk).
Sebelumnya saya tidak terlalu memperhatikan
jenis plant-based milk ini. Salah satu alasannya adalah karena harganya
yang relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan susu sapi biasa. Sebagai
perbandingan di minimarket susu sapi UHT (Ultra-High Temperature) dijual
sekitar Rp15ribu per liter, sedangkan susu gandum paling tidak punya label
harga Rp30ribu per liter. Karena saya tidak ada pantangan untuk mengonsumsi
produk hewani, pilihan saya masih ada pada susu sapi.
Saat tinggal di Australia, pilihan makanan
dan minuman untuk vegan dan vegetarian semakin beragam. Termasuk akses terhadap
susu non-diary juga lebih mudah. Harga antara susu sapi dengan susu
vegan tidak terlalu jauh. Malah ada beberapa merk yang susu sapi lebih mahal,
misalnya yang dilabeli organic dan grass fed. Harga per liter
susu sapi sekitar $1-2 (sekitar Rp10-20ribu). Susu oat dan almond dalam
kemasan karton 1 liter harganya $1,5-1.99 (sekitar Rp15-20ribu). Mulailah saya
gemar membeli susu yang tidak menyakiti pencernaan ini.
Konsumsi saya terhadap susu tumbuh-tumbuhan
ini cukup tinggi, terutama soy milk & oat milk. Dalam sehari,
saya bisa menghabiskan 1 liter sendirian. Ketika pulang ke rumah dan suhu di
luar sedang panas, saya langsung menegak segelas susu dari lemari es. Tidak dicampur
bahan lainnya.
Setelah cukup lama mengonsumsi minuman
olahan kacang dan gandum persepsi saya berubah ketika saat menonton video dari
kanal YouTube AZ Health yang mengangkat tema plant-based milk.
Pada video tersebut dijelaskan bahan-bahan, proses produksi, hingga
pengemasannya.
Banyak fakta mengejutkan yang baru ketahui. Salah satunya adalah penambahan enzim pada perendaman bahan baku yang membuat komponen karbohidrat terurai jadi gula. Indeks glikemiknya menjadi tinggi. Artinya minuman tersebut dapat menaikkan kadar gula darah dengan cukup cepat. Ada pula cerita tentang bahan vegetable oil yang ditambahkan ke dalam campuran untuk membuat tekstur yang lebih kental dan creamy, menyerupai susu dari hewan. Padahal minyak tanaman yang baisanya terbuat dari kanola, kacang, atau biji bunga matahari ini merupakan olahan industri yang kurang cocok jika langsung dikonsumsi. Selain itu ternyata bahan baku yang menjadi Namanya persentasenya cukup kecil. Misalnya salah satu produk yang saya beli ternyata hanya tersusun dari 2% kacang almond. Selebihnya air dan beragam bahan additif lainnya, termasuk vitamin sintesis yang ditambahkan.
![]() |
| Komposisi Susu Nabati yang Ternyata Tidak Sesederhana yang Dibayangkan |
Di video tersebut Mas Ardi, sang pemilik
akun, memaparkan bahaya kesehatan dari bahan-bahan tambahan tersebut jika
dikonsumsi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Bukannya mendapatkan
manfaat kesehatan dari serat gandum atau protein dari kacang kedelai, yang ada
malah tubuh kita bisa rusak karena timbunan bahan-bahan yang disintesis
tersebut. Susu tersebut jatuhnya malah jadi Ultra-Processed Food (UPF),
tidak lagi menjadi whole food yang menyehatkan. Saya jadi ngeri
membayangkan berapa banyak senyawa tambahan yang saya konsumsi selama ini.
Setelah menonton video ini saya langsung berkomitmen untuk tidak lagi membeli plant-based
milk yang diproses terlampau banyak.
Jika tidak mampu meminum susu sapi, dan
juga ingin menghindari bahaya cairan yang diproses, lalu apa solusinya? Futuha
menyarankan salah satunya susu kedelai yang diproses manual. Walaupun cukup
tradisional, tetapi kita bisa menjamin bahan-bahannya.
Saya jadi ingat ketika SMP salah satu
kegiatan ekstrakulikuler KIR (Kelompok Ilmiah Remaja) pernah memasak susu
kedelai. Sebenarnya cara pembuatannya cukup mudah. Pertama kacang kedelai
diremdam semalaman sampai agak lunak. Selanjutnya kacang diblender dengan air.
Larutan hasil blender kemudian disaring dengan menggunakan handuk. Sisa ampas
diperas sampai kering. Kemudian air perasan dipanaskan hingga mendidih. Susu
kedelainya bisa langsung dikonsumsi, atau ditambahkan jahe dan gula aren agar
lebih nikmat. Jika ada waktu dan sumber daya, saya jadi ingin mencoba membuat
olahan ini kembali.
Susu nabati bisa menjadi alternatif bagi yang kurang cocok dengan susu hewani. Namun, kita sebagai pelanggan perlu bijak untuk memilih produk dengan bahan-bahan yang aman dikonsumsi sepenuhnya. Jika ingin mengonsumsi yang alami, sebagai alternatif kita bisa membuat susu kedelai sendiri secara tradisional.

Komentar
Posting Komentar