Memulikan tamu
adalah akhlak yang mulia. Kawan-kawan kami yang datang berkunjung ke Balikpapan
biasanya kami ajak jalan-jalan, perkenalkan tempat wisatanya dan ajak mencicipi
kulinernya. Tanggal 20 - 22 Mei 2016 lalu Shabrina Salsabila (MRI ’10) atau
yang biasa dipanggil Teh Sabeu berkesempatan mengunjungi Balikpapan dalam
rangka mendampingi Pak Salman Subakat yang menjadi pengisi seminar motivasi
bertajuk Young on Top. Sebelumnya juga pernah ada beberapa anak MTI (Keluarga
Mahasiswa Teknik Industri) yang berkunjung ke kota minyak ini, karena urusan
bisnis atau keluarga, antara lain Vicario Reinaldo (Peka, TI ’10), Kania
Candrika Umar (Kacang, MRI ’11) dan Febriana Wisnuwardani (Febi, TI’11). Hanya
Kacang yang tidak sempat kami ajak keliling Balikpapan.
Gaya 'Wardah Next Top Model'
Setelah
berkoordinasi dengan Teh Sabeu dan menyesuaikan availabilitas dia, kami janjian
untuk bertemu hari Minggu tanggal 22 Mei pagi jam 8. Ia mengambil penerbangan
pulang ke Jakarta pukul 17:50 WITA, jadi masih sempat untuk wisata pagi dan
siangnya. Kebetulan dia menginap di Fave Hotel, jadi kami jemput ke sana.
Rombongan yang ikut jalan-jalan kali ini adalah Saya, Abdullah L. Malik
(Malik), Muhammad Andhika Putra (Dhika) dan Muslimin (Mimin). Awalnya Aini,
adiknya Mas Mimin mau ikut. Namun karena salah koordinasi akhirnya Aini tidak
jadi ikut. Alhasil hanya Teh Sabeu cewek di rombongan itu. Kami tidak menyewa
transportasi roda empat karena waktu jalan-jalan yang singkat, jadi hanya
menggunakan motor pribadi.
Koper sudah
dititipkan di resepsionis hotel dan sarapan pagi telah dibayar, Kami siap untuk
berangkat. Ternyata Teh Sabeu kenal
baik dengan kakaknya Dhika karena kakaknya Dhika sempat di PTI (Paragon
Technology and Innovation) juga. Hikmah dari jalan-jalan salah satunya adalah
memperluas jaringan juga ya. Dengan tiga motor bebek kami melaju ke destinasi
pertama. Atraksi wisata yang dikunjungi
pertama adalah Pantai Lamaru yang berada di Kecamatan Balikpapan Timur dan
berjarak kurang lebih 25 km dari Pusat Kota.
Perjalanan lancar
hingga sampai di daerah Manggar. Saya mendapatkan LINE call dari Teh Sabeu.
Katanya ban motor Malik bocor dan ia sedang pompa ban. Akhirnya Saya dan Mimin
yang membawa motor putar balik ke TKP di dekat Borneo Paradiso, Batakan.
Ternyata pentil ban belakang motornya hilang dan ada bagian ban yang harus
diganti. Agar tidak membuat sang tamu menunggu, kami melaju duluan dan
membiarkan Malik menyusul.
Pantai Lamaru
Sekitar pukul
9:40 kami tiba di tulisan besar yang berbunyi ‘PANTAI LAMARU’ dan ‘SELAMAT
DATANG’. Harga Tiket Masuknya adalah Rp 20.000/orang dan Rp 5.000 untuk motor.
Ketika masuk,
kami disuguhkan dengan pemandangan yang menyejukkan. Jalanan pasir yang sudah
diaspal dan di kanan-kirinya tumbuh pohon pinus yang berjajar simetris. Kebanyakan
pohon di pantai ini memang ditanam oleh pengelola objek pariwisata setempat.
Tak lama setelah kami memarkirkan kendaraan, motor Malik telah datang menyusul.
Rindangnya Pepohonan Pinus Sepanjang Jalan Menuju Pantai Lamaru
Pantai Lamaru
adalah panduan yang menawan antara air laut yang biru, pasir putih, dan hutan
pinus yang hijau. Tanaman hutan pinus yang tumbuh lewat di dekat bibir pantai
bukanlah pemandangan yang dapat dijumpai di sembarang pantai. Air di pantai ini
cukup jernih dan pasir pantainya bersih dari sampah. Ombak di pantai ini cukup tenang sehingga
memungkinkan pengunjung untuk berenang dan bermain olahraga air lainnya. Letak
pantai ini yang berada di sisi timur menjadikan pantai ini lokasi yang tepat
untuk menikmati kemegahan sang surya ketika muncul dari ufuk timur. Suasana
hutan dan pemandangan lepas laut sangat menenangkan. Apabila di pantai-pantai
dekat pusat kota Balikpapan yang dilihat di laut adalah rig, bars dan
kapal-kapal besar, di Pantai Lamaru benda-benda tersebut absen dari
pemandangan.
Pohon Pinus - Pasir - Laut
Pantai ini juga
dilengkapi dengan fasilitas information
center, kantin dan toilet yang banyak dan besih serta pendopo yang baru
selesai dibangun. Di information center
kita bisa membeli tiket untuk permainan flying
fox, sewa caddy car, naik andong
dan banana boat. Kita juga dapat
bersantai menikmati semilir angin laut dan semerbak aroma laut yang menenangkan
dengan tidur-tiduran di hammock yang
digantung di antara pohon. Karena kelengkapan sarana dan keindahan alamnya,
pantai ini sering dijadikan acara kekeluargaan bagi sekolah, korporat dan
banyak organisasi lainnya.
Mimin Berpose di Hutan Pinus
Spot menarik
untuk dijadikan objek foto di pantai ini tak terhitung jumlahnya. Baik di atas
pasir, di antara hutan pinus, di jalanan kendaraan di antara pepohonan hingga
di fasilitas yang disediakan untuk pengunjung merupakan tempat yang tidak dapat
dilewatkan oleh Anda yang menyukai fotografi. Alhasil banyak sekali foto yang
kami abadikan di Lamaru.
Foto-Foto Lagi, Sayang Kalau Tidak Ditampilkan
Kami dikenalkan
dengan aplikasi Phhhoto. Aplikasi tersebut adalah aplikasi yang mengambil
banyak foto dalam waktu cepat dan membuat rekaman video dari kumpulan foto
tersebut. Mirip seperti konsep kartun yang membuat gambar bergerak dari
kumpulan gambar. Lumayan, menambah referensi untuk membuat video lucu-lucuan.
Video yang kami buat dapat dilihat di Instagram @shabrinassalsa.
Selfie Lagi di Hutan Pinus
Selain
mengabadikan banyak momen lewat foto, kami juga banyak bercerita. Teh Sabeu
yang juga sedang berkecimpung di dunia HR (Human
Resource) memberikan banyak cerita dan pengalaman menarik kepada kami.
Karena Malik dan Teh Sabeu satu angkatan ketika kuliah dan Saya merupakan adik
kelas mereka, kami banyak bercerita mengenai keadaan teman-teman kuliah sekarang.
Menyenangkan sekali dapat perkembangan informasi terbaru yang belum kami tahu
(seringkali update berita tidak sampai ke Kalimantan, walau di era sosial media
ini).
Viva la MTI et la Liberta!
Hal baru yang
Saya temui adalah tulisan Pantai Lamaru di dekat bibir pantai. Kebetulan saat
itu air sedang surut, jadi dapat berfoto dekat dengan tulisan. Kalau air pasang
sudah pasti bagian pondasi tulisan tertutup air dengan sempurna. Ketenangan dan
kenyamanan suasana pantai bukanlah merupakan hal baru tetapi masih dapat
dijumpai ketika itu.
Narsis di Depan Tulisan ikonik 'Pantai Lamaru'
Karena
keterbatasan waktu kami tidak sempat rekreasi berlama-lama di Pantai Lamaru.
Perjalanan ke Penangkaran Buaya di Desa Teritip, objek kedua yang akan
dikunjungi, kira-kira menghabiskan waktu 5 menit. Kawan yang berkunjung ke
Balikpapan biasanya minimal kami ajak ke dua tempat ini karena objek wisata
dengan model seperti ini jarang ditemui di Jawa.
Penangkaran Buaya Teritip
Dari arah
Balikpapan, belokan ke arah Penangkaran Buaya agak kurang jelas terlihat.
Patokannya adalah di seberang Kantor Kelurahan Teritip. Begitu berbelok, kita
akan disambut dua ekor patung buaya berwarna hijau. Entah mengapa melihatnya
Saya jadi ingat sosok ulat yang memanjat ke pucuk daun teh di iklan Teh Pucuk Ha*rum.
Bilboard yang Menunjukkan Tempat Penangkaran
Harga Tiket Masuk untuk melihat penangkaran buaya adalah Rp 15.000/pengunjung.
Di dekat areal parkir terdapat kandang monyet. Biasanya kami membawa pisang
untuk dibagikan, namun Sayangnya tidak ada pisang untuk sesi kali ini. Ada juga
kantin yang menyediakan sate daging buaya yang dibanderol dengan harga Rp
5000,-/tusuk. Sate buaya dipercaya dapat meningkatkan vitalitas pria. Mas
penjual sate juga menjajakan minyak bulus dari Sampit dengan beragam
khasiatnya.
Warung Penjaja Sate Buaya
Penangkaran buaya
di Desa Teririp ini dikelola oleh CV Surya Raya sejak tahun 1993. Jumlah buaya
yang ditangkarkan mencapai ribuan ekor yang berkembang di area seluas 5 ha.
Jumlah tersebut merupakan yang terbanyak di Kalimantan Timur. Pengunjung dapat mendatangi tempat ini setiap
hari dari pukul 8 – 17 WITA.
Terdapat tiga
jenis buaya yang dikembangbiakkan, yakni: buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar/buaya siam (Crocodylus siamensis) dan buaya supit
(Tomistoma segellly). Buaya muara merupakan jenis buaya yang dapat tumbuh besar
hingga 4 - 5 meter panjangnya dan paling banyak jumlahnya. Buaya siam merupakan
buaya langka yang hampir punah. Buaya supit merupakan buaya endemik Kalimantan
Timur yang memiliki moncong yang runcing.
Penampakan Buaya Supit
Penangkaran ini
merupakan penangkaran yang legal sehingga kegiatan pemotongan buaya juga
diperhatikan. Hanya buaya dengan usia 1.5 tahun dan panjang minimal 2 meter
yang dapat disembelih. Selain dijadikan sate, bagian tubuh buaya yang biasa
dikomersialkan antara lain kulit, gigi dan tangkur (alat vital buaya). Tangkur
dibanderol dengan harga Rp 100.000/cm, bervariasi mulai dari ukuran 3 cm (Rp
300.000,-) hingga 13 cm (Rp 1.300.000,-). Cara mengkonsumsinya adalah dengan
merendam tangkur tersebut dengan air atau arak (lebih manjur pakai arak
katanya), lalu secara rutin meminum rendamannya untuk kesehatan dan vitalitas.
Tangkur Buaya yang Dipajang di Etalase
Dekat pintu masuk
terdapat etalase yang memajang berbagai produk bagian dari buaya dan kesenian
Dayak. Ada tas, dompet dan pernak-pernik khas Dayak. Ada juga tangkur, gigi
buaya dan minyak buaya yang berkhasiat mengobati luka bakar serta dompet dan
ikat pinggang kulit buaya. Melihat ada pengunjung perempuan yang takut buaya,
terbersit pikiran ironi yang usil. Bukankah seharusnya buaya yang takut dengan
wanita? Karena sejatinya konsumen terbesar kulit buaya adalah
perusahaan-perusahaan fashion dan aksesoris wanita, hehehe.
Di area penangkaran
terdapat empat jenis kandang: (1) kandang anak buaya, (2) kandang buaya muda,
(3) kandang buaya dewasa dan (4) kandang untuk menimbang berat badan buaya.
Kandang anak buaya dapat diisi hingga puluhan buaya kecil yang
berdesar-desakan. Biarpun begitu mereka tetap diam, bahkan ada yang diam sambil
membuka mulut dalam waktu lama, mungkin menunggu makanan. Kondisi yang mirip
dapat dilihat di kandang buaya remaja, hanya saja di kandang ini jumlah buaya
lebih sedikit. Hal yang patut disayangkan adalah pengamannya yang kurang
tinggi. Kandang hanya ditutup dengan pintu setinggi 1.5 m yang selotnya dapat
dengan mudah dibuka oleh siapa saja. Jika (kemungkinan buruknya) ada anak kecil
atau orang iseng yang membuka slotnya, kekacauan dapat terjadi secara cepat. Kandang
untuk menimbang berat badan dan menyembelih buaya tertutup dan tidak dapat
sembarangan diakses.
Kandang Buaya yang sedang Puber (Remaja)
Kandang buaya
dewasa berupa enklosur yang dibuat menyerupai habitat aslinya. Di enklosur ini
beberapa buaya tampaknya jago menyamar. Hampir tidak dapat dibedakan antara
tubuhnya dengan lumpur sungai. Bunyi hanya terdengar ketika ada buaya yang
bergerak. Karena buaya-buaya tersebut malas bergerak, hampir tidak ada bunyi
yang terdengat. Di kawasan penangkaran tidak tercium bau amis buaya.
Kandang Buaya Dewasa
Selain mengamati
buaya yang lebih banyak diam daripada bergerak, kita dapat memberi makan buaya
dengan ayam tiren. Ayam dapat dibeli dengan harga Rp 10.000/ekor. Datangnya
mangsa dapat membuat buaya bergeming dari posisinya. Perebutan antar buaya
untuk memperoleh ayam tersebut merupakan tontonan yang menarik dan seru. Sayangnya
ketika kami berkunjung ayam sedang kosong.
Namun masih ada
satu wahaya yang dicoba oleh Teh Sabeu, yakni berfoto dengan buaya. AwalnyaTeh
Sabeu sempat takut dan menolak foto bersama buaya. Setelah dipersuasi dengan
iming-iming ‘mumpung di sini’ dan ‘di Jakarta belum tentu bisa kayak gini’
akhirnya dia mau juga. Agar sang anak buaya yang telah ikat moncongnya tenang,
dia perlu dielus-elus terlebih dahulu sebelum pindah tangan dari sang pawang.
Gara-gara takut malahan proses foto memakan waktu agak lama.
3T: Teriak-Teriak Takut
Akhirnya Berhasil Senyum, Walau Agak Maksa
Dinding-dinding
di area kandang buaya menjadi media untuk menuangkan curhatan oknum pengunjung.
Terdapat beberapa coretan yang bertuliskan gombalan perihal buaya, anekdot
kehidupan buaya hingga curhatan yang umum. Di satu sisi vandalisme ini lucu dan
cukup menghibur, namun jika yang lihat tidak paham bahasa Indonesia hanya akan
membuatnya terlihat seperti pengrusakan fasilitas yang mengurangi nilai
estetika.
Contoh Vandalisme oleh Orang yang Kurang Bertanggung Jawab
Di kandang bagian
luar ketika pertama kali Saya ke sana ada buaya muara yang sangat besar,
panjangnya lebih dari 4 m. Kata penjaganya sang buaya pernah memangsa manusia.
Buaya yang pernah menikmati daging manusia harus segera ditangkap agar tidak mencari
buruan manusia lainnya. Katanya sih buaya bakal suka rasa daging manusia. Jadi
harus dikarantina agar tidak ketagihan. Ketika kami ke sana saat ini, sayangnya
sang buaya besar tidak ada di kandang. Mungkin telah dipotong.
Setelah puas
melihat-lihat buaya, kita dapat berjalan ke sisi utara untuk menemukan Rumah
Lamin dan Totem Dayak. Rumah lamin adalah rumah adat khas Kalimantan yang
terbuat dari Kayu. Totem berbentk tiang kayu yang tinggi dengan beragam ukiran
di batangnya. Rumah Lamint tersebut tidak dihuni dan mungkin dimaksudkan untuk
difungsikan sebagai tempat pertunjukan. Terdapat area luas yang cocok untuk
panggung dan pelataran berundah untuk tempat duduk penonton. Sayangnya area
tersebut kurang terawat; rumput tumbuh tinggi di pelataran berundak dan beberapa
sudut panggung agak lapuk. Pun demikian, ukiran khas Kalimantan di atap dan
tiang rumah tetap membuat kesan etnik yang kental di Rumah Lamin ini. Ukiran di
tiang terlihat seperti figur naga. Jika ada penampilan kesenian dan kebudayaan,
Rumah Lamin ini cocok dijadikan tempat pertunjukan.
Tampak Depan Rumah Lamin
Dekorasi Atap Corak Buaya Khas Kalimantan
Di dekat Rumah
Lamin terdapat dua ekor gajah lampung yang dapat ditumpangi, bertambah satu
ekor dari terakhir Kali Saya ke sana. Gajah yang satu dibiarkan berjalan lepas
tetapi gajah yang lainnya berjalan dengan kaki terikat. Mungkin karena gajahnya
baru harus melewati proses orientasi dan persiapan dahulu agar lebih jinak dan
tidak kabur. Mungkin. Sebelum meninggalkan tempat wisata ini kita dapat membeli
souvenir yang dijajakan sekitar pelataran parkir.
Temukan 'Buaya Darat' di Foto Tersebut. Hahaha
Perut yang
keroncongan memberi sinyal waktu makan siang telah tiba. Benar saja, jam telah
menunjukkan pukul 12 tengah hari. Tujuan kami untuk mengisi perut awalnya
adalah Sari Gading, rumah makan sea food yang
terkenal dan terletak di Pasar Inpres Kebun Sayur. Sejurus kemudian motor-motor
kami sudah melaju kembali ke arah Balikpapan.
Pantai Banua Patra
Di tengah jalan,
kami berhenti sejenak dan berbelok ke Pantai Banua Patra, destinasi yang tidak
kami rencanakan awalnya. Pantai ini adalah pantai pasir putih di belakang
gelanggan olahraga Banua Patra. Lokasinya dekat dengan Lapang Merdeka yang
sering dijadikan tempat beragam aktivitas masyarakat Balikpapan. Poin menarik
adalah bebatuan yang tersusun membentuk semacam pulau di dekat pantai.
Diantara dua sisi
batuan yang tinggi, terdapat area kecil yang tertutup. Area ini sering
digunakan untuk kemping dan berapi unggun karena lokasinya yang privat di
tengah kota. Kebetulan waktu kami ke sana ada kawanan pemuda yang sedang
bakar-bakar ikan. Ada tenda juga. Nampaknya mereka habis bermalam di sana.
Bebatuan di Pantai ini enak untuk nongkrong-nongkrong dan duduk santai
menikmati tenggelamnya matahari. Sun Set dapat
dilihat secara jelas tanpa terhalang karena posisi pantai ini di ujung barat
Balikpapan. Di antara bebatuan terlihat kepiting-kepiting kecil. Namun kita
harus tetap berhati-hati dalam melangkah agar kaki tidak terluka.
Menurut buku
sejarah kota Balikpapan, pantai ini pernah menjadi saksi bisu pembantaian 78 orang
Belanda oleh tentara Jepang dalam invasi Jepang untuk menguasai sumber minyak
di sini pada tahun 1942. Keangkeran Pantai ini ditambah dengan papan peringatan
yang menyatakan pentai ini berbahaya untuk berenang dan angker. Arus bawah laut
yang kencang dan kedalaman laut yang curam membuat pantai yang berada di sisi
timur Teluk Balikpapan ini sering memakan korban tenggelam, dan hal ini
berulang dari tahun ke tahun.
Peringatan yang Cukup Membuat Bulu Kuduk Merinding
"DI PANTAI INI TEMPAT ANGKER UNTUK BERENANG, BERBAHAYA!"
Walaupun begitu,
jika kita hanya ingin bersantai di pinggir pantai menikmati halusnya pasir
putih dan dudu-duduk melihat indahnya warna langit saat matahari kembali ke
ufuk barat, pantai ini amat direkomendasikan.
Rasa lapar tidak
dapat dibendung lagi, kami memutuskan langsung pergi ke Kebun Sayur melewati
jalan minyak. Dhika sudah berpisah dengan rombongan semenjak kembali dari
Lamaru. Sepanjang jalan minyak Malik bercerita kepada Shabrina mengenai kilang
minyak Pertamina yang bapat dilihat sepanjang jalan. Jalan minyak ini juga
dapat menjadi atraksi wisata yang unik karena tidak semua kota memilikinya.
Sayang, harapan
kami menikmati nikmatnya pepes patin di Haur Gading harus kandas karena
ternyata rumah makannya tutup. Berpindah tempat, ternyata rumah makan ikan Hj.
Isna pun tidak buka. Akhirnya kami memutuskan untuk mengisi perut di Depot
Simpang Empat (Cica) dengan menu Chinese
food dan mantau Balikpapan yang terkenal. Kami mencoba menu andalan mantau
dan sapi lada hitam. Katanya koki di Cica alumnus koki di Hotel Blue Sky, jadi
rasanya tidak jauh berbeda dengan harga yang lebih miring. Jam 14.30 siang toko
ini tutup dahulu sebelum buka kembali jam 17 sore, Kami adalah pengunjung
terakhir saat itu. Kebetulan, Irene (Maria Irene Belinda da Silva) sedang
berada di dekat kebun sayur. Kami pun janjian untuk bertemu.
Setelah mengisi
perut, ada rencana untuk belanja oleh-oleh di Pasar Inpres Kebun Sayur. Kami
juga bertemu dengan Irene di sana. Ternyata ia sedang akan mengadakan sesi foto
dengan Ridwan (Ridwan Wijaya) untuk meng-endorse beberapa produk kuliner
Balikpapan. Ya, mereka berdua adalah selebgram yang aktif di komunitas kuliner
@bpnfoodies. Kami dibagi menjadi dua
tim: tim yang mencari oleh-oleh dan tim foto makanan. Saya tertarik ingin
melihat bagaimana proses foto makanan untuk promosi tersebut.
Sesi foto
dilakukan di Bakery Nam Min di belakang Plaza Kebun Sayur. Saya belajar
bagaimana komposisi alas, kain dan kombinasi rempah dapat menambah estetika dan
menggugah selera. Penataan makanan di piring yang dibuat sedemikian rupa membuat
makanan terlihat siap untuk langsung disantap. Pengaturan intensitas cahaya
juga penting untuk memunculkan warna asli komponen yang ada di makanan. Tangan
model seringkali dibutuhkan untuk melakukan aktivitas seperti memegang piring dan
menyumpit/menyendok makanan. Gambar yang diambil dipercantik dengan menggunakan
aplikasi edit foto, misalkan VISCO cam. Tidak harus menggunakan filter mahal
untuk menampilkan hasil foto yang membuat nafsu makan timbul.
Hasil Foto Irene untuk Produk Brownies dari @chocodud
Gambar dari Instagram Irene (@re.dslv)
Gambar dari Instagram Irene (@re.dslv)
Hasil Foto Ridwan untuk Produk Mie dari @miekunti
Gambar dari Instagram Ridwan (@ridwijaya)
Gambar dari Instagram Ridwan (@ridwijaya)
Tak lama setelah
sesi foto selesai, rombongan pemburu oleh-oleh tiba di Nam Min. Teh Sabeu
membeli batik khas Kalimantan dan amplang untuk teman-teman di kantornya.
Setelah ngobrol-ngobrol, kami memutuskan masih sempat untuk mengunjungi satu
tempat wisata lagi sebelum pergi ke bandara. Dhika, Irene dan Ridwan tetap
tinggal di Nam Min.
Foto Bareng bersama Selegram
Hutan Mangrove Margomulyo
Hutan Mangrove
Margomulyo yang terletak di belakang SMA 8 Balikpapan menjadi pilihan tempat
wisata terakhir kami. Tempat ini favorit untuk melepas kepenatan dan berbutu
foto alam. Dari Kebun Sayur, perjalanan memakan waktu sekitar 5 menit saja. Sayangnya
tidak ada penanda atau papan penunjuk arah untuk mencapai tempat ini, jadi jika
tidak mengikuti GPS mungkin akan kesulitan ketika pertama datang ke sini. Namun
jangan segan untuk bertanya kepada warga sekitar yang akan dengan ramah
memberikan arah untuk menuju hutan mangrove tersebut.
Ketika kami masuk
pintu terkunci. Memang kawasan hutan bakau ini tidak dibuka 24 jam dan dapat
masuk dengan membayar seikhlasnya kepada penjaga yang tinggal di daerah sini.
Grup pemuda lainnya yang datang lebih dahulu sebelum kami berinisiatif untuk
menelepon penjaganya. Tak sampai lima menit menunggu, sang penjaga datang
membukakan pintu kayu berukiran tameng dayang yang menjadi gerbang masuk area
hutan bakau. Hutan mangrove ini seluas 16.5 hektar, yang terbagi menjadi dua area
yang dibelah Sungai Sidomulyo yang bermuara pada Teluk Balikpapan.
Pose di Hutan Mangrove
Cuaca sore sedang
cerah. Sinar matahari yang menyeruak diantara dedaunan membuat suasanya nyaman
dan tentunya photogenic. Pengunjung
dapat berjalan sepanjang trek yang terbuat dari kayu ulin sepanjang 800 m dan lebar
1 m jadi tidak perlu khawatir akan berbecek-becek di area rawa. Jembatan ini dapat
membawa pengunjung mengelilingi hutan karena lintasannya yang dirancang
menjangkau hampir semua sudut hutan. Di beberapa lokasi kita bisa menemukan
tempat berteduh seperti gazebo dan menara pantau. Di gazebo terdapat penjelasan
mengenai vegetasi dan hewan yang tinggal di ekosistem bakau ini. Dari atas
menara pantau kita dapat melihat seluruh penjuru hutan mangrove. Di beberapa
lokasi juga terlihat pohon-pohon bakau yang baru saja ditanam lengkap dengan
nama penanamnya.
Foto dari Atas Menara Pantau, Cukup Fotogenik
Di kawasan hutan
bakau ini terdapat dua jenis tanaman bakau yang tumbuh, Rhizopora mucronata dan Rhizopora aviculata. Varian bakau yang
pertama memiliki kulit kayu berwarna gelap hingga hitam dan terdapat celah
horizontal. Akarnya berupa akar napas dan akar tunjang. Daunnya biasanya
berwarna hijau muda. Bunganya agak besar berwarna kuning yang terdiri dari 6-8
bunga per kelompok. Jenis kedua memiliki kulit kayu berwarna abu-abu tua mengkilap
dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Warna daun berwarna hijau tua, dengan pucuk
daun berwarna merah. Bunga berwarna merah kecoklatan dengan formasi 2-4 bunga
per kelompok.
Tamanan Mangrove Terlihat Agak Kering di Musim Kemarau
Fauna yang
berhabitat di kawasan in pun beragam, mulai dari kepiting dengan warna capit
yang bervariasi (ada yang merah, biru, ungu, pink, dsb), burung-burung yang
eksotis, ikan tempakul yang pandai memanjat dahan pohon bakau, dan bekantan (Nasalis larvatus) yang
merupakan primata endemik Borneo. Bekantan dapat dikenali dari hidungnya yang
besar. Oleh masyarakat hewan ini juga sering dipanggil ‘walanda’, mungkin
diasosiasikan dengan orang Belanda yang berhidung besar. Bekantan juga
dijadikan maskot Dufan (Dunia Fantasi) di ibukota.
Udara di kawasan
hutan terasa segar dan nyaman untuk dihirup. Tanaman bakau memang dikenal dapat
menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar. Waktu yang tepat apabila ingin
berjumpa dengan bekantan dan satwa lainnya di hutan mangrove ini adalah sekitar
jam 5 sore. Tempat ini buka mulai dari pukul 8 pagi hingga 6 sore.
Bagian Hutan yang Agak Lebat Daunnya.
Ada Cahaya Hangat Menyinari dari Langit!
Hutan mangrove
ini dibuat secara swadaya oleh warga sekitar daerah tersebut yang menggantungkan
hidupnya pada hutan mangrove. Komunitas yang didirikan pada tahun 2002 ini
dinamakan Kelompok Tani Tepian Lestari, bekerjasama dengan BLH Balikpapan. Menjamurnya
industri pendukung tambang dan minyak di pesisir sungai wain dekat Teluk
Balikpapan membuat populasi hutan bakau dan tanaman lainnya berkurang.
Akibatnya banyak hewan kehilangan tempat tinggal. Ikan, udang dan kepiting yang
biasanya dijual pun menyusut jumlah. Hal tersebutlah yang mendorong Kelompok
Tani Tepian Lestari bergotong royong membuat perlindungan untuk mangrove.
Pembangunan jembatan ulin pun menggunakan dana iuran warga.
Pada
kesempatan kali ini Kami hanya dapat menikmati objek wisata ini kurang lebih 15
menit. Waktu yang amat singkat mengingat kala itu waktu telah menunjukkan pukul
16 lewatKami meniti trek yang lebih pendek. Karena waktu masih sore, bekantan
yang mencari makan pun tidak terlihat batang hidungnya. Tapi setidaknya
pengalaman yang singkat ini nampaknya dapat memukau Teh Sabeu yang baru pertama
datang ke hutan semacam ini. Foto yang kami dokumentasikan tidak sedikit.
Semoga lain kali ada kesempatan untuk berkunjung lagi di hutan Mangrove sejenis
dan dapat bertemu bekantan.
Efek Sinar Matahari only, #nofilter
Jam
16:30 kami kembali ke hotel Fave di daerah MT Haryono. Karena merasa tak sempat
memesan taksi, akhirnya kami mengantarkan Teh Sabeu ke bandara. Kopernya pun
kami bawa di boncengan motor. Jam 17:10 Kami tiba di Bandara Sultan Aji
Muhammad Sulailman Sepinggan. Karena bandaranya dekat dengan pusat kota maka
Saya jadi terbisa agak mepet datangnya, hehe. Tak lama setelah check in dan mau
masuk boarding room, terdengar panggilan penumpang untuk memasuki pesawat
Garuda yang akan membawa Teh Sabeu kembali ke Jakarta. Benar-benar mepet
waktunya.
Perpisahan di Bandara.
Terima kasih
telah berkunjung, Shabrina Salsabila. Semoga pengalamannya berwisata di berkesan
dan menyenangkan. Ternyata pekan depannya dia kembali ke Balikpapan untuk tugas
di Samarinda. Kawan-kawan yang lain kalau ada yang ke Balikppan kabarin yaa.
Komentar
Posting Komentar