Tari Rapa'i Geleng merupakan salah satu tarian tradisional yang berasal dari provinsi Naggroe Aceh Darusaalam.
Dari asal katanya, tarian ini terdiri dari kata Rapa’i dan Geleng. Rapa’i adalah
alat musik perkusi yang berbentuk seperti rebana, dengan sepasang kepingan
logam untuk membuat bunyi gemerincing. Jadi rapa’i geleng adalah tarian dengan
menggunakan alat musik rapa’i yang ditarikan sambil menggeleng-gelengkan kepala
dan melakukan gerakan lainnya.
Tarian Rapa'i Geleng pada Gelar Budaya Aceh 2015
Tarian yang biasa dibawakan oleh penari pria ini ditarikan sambil
berbaris. Tarian dipimpin oleh seorang syeikh yang berada di luar barisan. Penari
yang ada di dalam barisan menari sambil menabuh rapa’i, bernyanyi dan bergerak
membentuk formasi. Syair lagu yang
dibawakan mengandung unsur keagaaman, kebudayaan dan nilai-nilai di dalam
masyarakat. Dengan syair seperti itu, tarian ini juga digunakan sebagai media
dakwah dan memberikan nasihat moral kepada masyarakat.
Tari Rapa’i Geleng dibagi menjadi 3 babak, antara lain
yaitu:
- Saleuem (salam)
- Kisah (baik kisah nabi & rasul, zaman kerajaan, dan ajaran agama)
- Lani (penutup)
Salah satu syair tarian ini yang bernilai dakwah berbunyi
seperti ini:
Meunyo ka hana
raseuki
Nyang bak bibi rhot
u lua
Bek susah sare bek
seudeh hate
Tapike la'en tamita
Yang artinya kurang
lebih adalah sebagai berikut:
Kalau sudah tak ada rezeki
Yang sudah di bibir pun jatuh ke luar
Janganlah susah, jangalah bersedih
hati
Mari kita pikirkan yang lain untuk di
cari
"Janganlah susah, jangalah bersedih hati. Mari kita pikirkan yang lain untuk di cari"
Pengalaman Belajar Tari
Rapa’i Geleng
Saya mempelajari tarian ini ketika bergabung dengan UKA ITB
(Unit Kebudayaan Aceh ITB). Ketika itu kami mempersiapkan untuk penampilan di
acara Gelar Budaya Aceh tahun 2015. Ketika pertama berlatih, para penari
dibiasakan dulu untuk bermain rapa’i. Ada 3 bunyi yang dapat dihasilkan ketika
memukul rapa’i:
(1) bunyi ‘pak’ ketika memukul bagian kulit
rapa’i dengan seluruh permukaan tangan,
(2) bunyi ‘dung’ yang timbul saat memukul
setengah bagian pinggaran kayu dan setengah bagian kulit rapa’i bersamaan, dan
(3) bunyi ‘crik’ yang dihasilkan pukulan
kecil pada bagian keping logam.
Dua pekan pertama berlatih dihabiskan untuk menguasai
perbedaan cara menghasilkan bunyi tersebut.
Ketika berlatih gerakan dengan nyanyian bersamaan, sebenarnya
tidak begitu sulit. Malahan yang menjadi tantangan adalah ketika melakukan ‘gerakan
kosong’—gerakan menari tanpa ada syair. Agak sulit untuk menghitung pukulan
tanpa menggunakan syair lagu bagi saya pribadi. Tarian ini juga sangat dinamis
karena melibatkan perubahan posisi berkali kali. Ketika berpindah posisi kita
harus benar-benar fokus karena konsentrasi kita terbagi 3: bernanyi, menabuh rapa’i
dan memastikan bergerak ke posisi yang sesuai.
Selain menabuh rapa’i, ada juga gerakan mengoper dan saling
melempar rapa’i. Ini merupakan gerakan yang paling seru dan biasanya mendapat
antusiasme tinggi dari para penonton. Ketika awal melihat gerakan tersebut saya
pikir akan sulit. Ternyata setelah dipelajari gerakannya cukup mudah. Kuncinya adalah
yakin ketika melempar, jangan ragu-ragu. Pengalaman saya ketika latihan,
apabila ada yang ragu-ragu akibatnya malah rapa’inya mengenai kepala teman
dalam satu barisan.
Gerakan Melempar Rapa'i dalam Formasi
Syair yang paling saya suka dari rangkaian gerakan Rapa’i
Geleng yang ditarikan di UKA ITB adalah lirik ini:
Piasan raya peuleumah adat
Tapulang tungkat bak aneuk muda
Oh mate aneuk ka meupat jeurat
Oh gadoh adat han pat tamita
Artinya:
Pameran besar pertunjukkan adat
Mengoper tongkat (kebudayaan) kepada
anak muda
Mati anak ada kuburannya
Hilang adat mau dicari ke mana?
Dua kalimat terakhir merupakan kalimat yang diucapkan Sultan
Iskandar Muda ketika memancung kepala anaknya sendiri karena melanggar hukum
adat yang berlaku di Aceh pada masa itu. Maknanya kurang lebih adalah kalau
anak mati masih dapat dicari kuburannya, sedangkan apabila adat hilang dari
masyarakat mau dicari kemana? Syair ini menurut saya cocok menjadi syair
penutup tarian ini karena mengandung pesan untuk terus menjaga adat istiadat
agar tidak hilang digerus perubahan zaman.
Ketika proses belajar tarian ini juga saya belajar banyak
hal. Gerakan yang harus segaram antar penari memberikan pelajaran untuk
mengalah apabila ada anggota tim yang gerakannya terlalu cepat atau harus
mengejar keterlambatan apabila ada yang lebih lambat. Kehadiran seluruh tim
dibutuhkan seluruhnya ketika latihan, karena ada satu orang yang tidak ikut
saja formasi tidak dapat dijalankan. Kami jadi lebih peduli untuk menanyakan
kabar teman yang lain dan ada kesadaran sendiri untuk memberikan konfirmasi
kehadiran di grup. Saya juga belajar menerapkan konsep manajemen waktu untuk
membagi fokus dan waktu antara kuliah, kegiatan organisasi, dan berlatih tari.
Gerakan Penari Kompak dalam Satu Barisan
Budaya Indonesia memang unik. Mempelajari kebudayaan
Indonesia tidak hanya memperluas wawasan kita, namun juga mengembangkan diri
kita ke arah yang lebih baik. Yuk, pelajari dan cintai budaya Indonesia
Komentar
Posting Komentar