Jalanan Malam yang Temaram |
Masa-masa
ketika masih menjadi mahasiswa S1 merupakan masa-masa ketika waktu tidur paling
sedikit. Tiba di rumah selepas tengah malam dan sehabis shubuh sudah berangkat
lagi sudah menjadi hal yang lumrah. Terutama saat tingkat 3, cukup banyak kegiatan
kemahasiswaan yang saya ikuti mulai dari Himpunan Mahasiswa Jurusan (Keluarga
Mahasiswa Teknik Industri), Unit Kegiatan Mahasiswa (Unit Kebudayaan Aceh), dan
Badan Eksekutif Mahasiswa (Kementerian Seni dan Budaya, Kabinet Mahasiswa ITB).
Seringkali rapat anggota di himpunan baru selesai tengah malam. Menjelang
pagelaran, latihan penampilan dan persiapan acara di unit juga sampai larut
malam. Jika mendapatkan undangan untuk menghadiri acara pementasan dari unit seni
dan budaya lain, setelah selesai acara masih tetap di lokasi untuk berbincang dengan
panitia.
Sepanjang
perjalan pulang dari kampus di Dago ke rumah di Buah Batu, saya suka
memperhatikan jalanan di Bandung. Banyak hal yang dapat diamati. Turun dari
jalan Dago sekitar pukul 10 malam bisa dilihat tempat usaha dan pusat
perbelanjaan mulai tutup. Pengunjung beranjak pulang. Karyawan dan karyawati
masih dengan seragamnya berdiri di depan toko menunggu di jemput. Ketika
akhirnya anggota keluarga mereka tiba untuk menjemput, dapat terlihat rasa
syukur dari gestur salim yang ditunjukkan.
Melewati
perlintasan kereta api, jika ada kereta yang lewat kita bisa menonton penumpang
di gerbong yang kebanyakan sedang terlelap. Pada gerbong kereta ekonomi
terlihat penumpang saling tidur berhadapan. Karena lampu di dalam kereta menyala
dan keadaan di luar gelap, maka gerbong terlihat seperti akuarium berjalan.
Turun ke
jalan tamblong dan lengkong, pengamen dan pengemis satu per satu dijemput.
Masuk ke daerah Sawah Kurung dan Sriwijaya, yang banyak pemukiman, suasana sepi
dan jarang orang lewat. Kalau berjalan melewati Sawah Kurung untuk ganti angkot
seringkali saya mempercepat jalan karena takut. Semakin larut jalanan semakin
sepi dan peran lampu merah sebagai pengatur lalu lintas kadang tereliminasi.
Dari
pengamatan tersebut juga saya menemukan masih banyak orang yang terpaksa harus
menghabiskan malam yang dingin di luar. Di daerah Pungkur dan Ciateul misalnya,
beranda toko yang siang hari berjulan kendaraan bekas digunakan para tunawisma untuk
bermarkas. Pengamatan ini memantik rasa iba, yang membuat saya berpikir
bagaimana kira-kira kontribusi yang dapat dilakukan untuk membantu orang-orang
yang membutuhkan ini. Mungkin inilah salah satu alasan yang mendasari kegiatan
pengabdian masyarakat yang saya lakukan banyak mencoba berkontribusi terhadap
penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Salah satu kegiatan yang
berhubungan misalnya mentoring UMKM dan pelatihan pemasaran digital.
Menapaki jalanan Kota Bandung di malam hari memperlihatkan beragam sudut pandang yang mungkin tidak terlihat jika matahari masih bersinar. Dari perspektif tersebut membuat saya banyak bersyukur dengan keadaan, misalnya jam pulang kantornya masih sore dan hampir tidak pernah lembur sampai malam. Semoga ke depannya saya juga dapat berkontribusi terhadap realisasi Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945 tentang gelandangan dan pengemis dipelihara oleh negara.
Komentar
Posting Komentar