Ketika kita pindah ke negara lain, baik untuk bekerja ataupun belajar, enam bulan pertama merupakan honeymoon period. Dalam rentang waktu tersebut kita masih menikmati budaya yang berbeda, tempat baru, dan hal-hal unik yang tidak kita alami sebelumnya. Setelahnya kita mungkin mengalami culture shock baru akhirnya bisa beradaptasi sembali. Saya akhirnya membuktikan teori ini ketika tinggal di Taiwan untuk belajar Bahasa Mandarin.
Pertama
kali mendengar mengenai konsep culture shock yang biasa dialami
mahasiswa asing ketika menempuh studi di luar negeri adalah pada waktu
orientasi mahasiswa internasional di School of Business Hong Kong Baptist
University. Salah seorang staf internasionalisasi, Ms. Alison, menceritakan
tentang pola culture shock yang biasa terjadi.
Ms. Alison
mengatakan bahwa di awal kedatangan di negara yang baru, mahasiswa masih senang
mencoba hal baru, mengeksplorasi banyak tempat, mencicipi panganan khas, hingga
belajar bahasa lokal. Namun seiring berjalannya waktu, ada kalanya mahasiswa
akan mengalami keterkejutan budaya. Umumnya hal ini terjadi di bulan keenam.
Mereka mungkin mulai merasakan ketidakcocokan budaya tempatnya merantau dengan value
yang di bawa dari negara asalnya. Penyebabnya bisa beragam, mulai dari
cuaca, orang-orang, hingga peraturan dan kebijakan. Namun setelahnya mahasiswa
semestinya sudah mulai bisa menyesuaikan dengan lingkungan hingga beradaptasi dengan
lingkungan yang baru.
Untungnya
saya tidak sempat mengalami culture shock ketika sekolah di Hong Kong.
Saya hanya tinggal di sana kurang lebih tiga bulan dan harus menghabiskan sisa
waktu studi dari rumah karena social unrest 2019 dan pandemic Covid-19.
Namun, ketika belajar di Taiwan akhirnya saya merasakan kangen rumah setelah 6
bulan melewati masa-masa honeymoon dan berada di puncak kebahagian dan
kepuasan tinggal di negara lain.
Setengah
tahun pertama tinggal di Taiwan merupakan masa-masa yang paling saya nikmati.
Saya berkenalan dengan banyak teman baru, tidak hanya lokal Taipei, tapi juga
dari seluruh dunia. Tidak pernah terpikir sebelumnya saya akan memiliki teman
yang berasal dari negara St. Kitts & Navis dan Croasia. Saya rajin
mengunjungi night market untuk mencoba jajanan khas dari Taiwan. Makanan
stinky tofu yang banyak orang enggan memakannya karena bau busuknya pun
tak luput saya coba demi memuaskan rasa penasaran. Dari Keelung di utara hingga
Kenting di ujung selatan pulau Formosa pun saya jelajahi di waktu senggang.
Saya merasa cocok tinggal di Taiwan dan sebelumnya belum pernah terbersit rasa home
sick. Di tengah kesibukan kuliah dan jalan-jalan, saya juga tetap rutin
menelepon keluarga di rumah.
Ada satu
momen yang akhirnya membuat saya kangen dengan kota Bandung. Saya menjadi
panitia syukuran wisuda fakultas di kamus Institut Teknologi Bandung (ITB).
Acara syukurannya dilangsungkan offline dari kampus dan disiarkan juga
melalui Zoom. Acara berlangsung lancar hingga akhir. Saya yang menyimak secara online
pun dapat menikmati seluruh rangkaian acaranya. Setelah sesi foto bersama
dan penutupan, sang operator memutarkan sebuah lagu yang baru pertama saya
dengar namun liriknya membangkitkan kenangan-kenangan tentang kampung halaman
bagi saya. Lagu berbahasa Sunda yang disetel berjudul “Bandung” yang digubah
oleh Yura Yunita.
Ada salah
satu syair yang paling menyentuh. Potongan lirik tersebut berbunyi
“Sajauh
ning panginditan
Satebih hing lelengkahan
Heup dimana diri miara
Mulang tetep ka salira”
Kurang
lebih artinya
“Sejauh
mana aku pergi
Kemanapun aku melangkah
Dimanapun aku berada
Selalu ingin kembali kepadamu (Bandung)”
Saya
diingatkan lagi tentang Bandung yang merupakan kota asal. Saya cukup sering
melakukan komparasi antara Taipei dengan Bandung dan seringkali hasilnya malah
membuat saya memuji Taiwan dan malah menjatuhkan Bandung. Taiwan memang nyaman,
tapi Bandung adalah tempat pulang.
Ketika
mendengar bagian “nang ning ning nang” yang disenandungkan oleh penyanyi,
memori-memori indah tentang Bandung semakin terpanggil. Ingatan yang saya
bayangkan adalah tentang sekolah SMA di Jalan Belitung, lari di Saparua,
jalan-jalan di Maribaya, berburu sun rise ke Tebing Keraton, menikmati
penampilan angklung di Saung Mang Udjo, hingga makan di luar bersama keluarga.
Tak sadar air mata menetes membasapi pipi. Barusah saya merasakan homesick.
Kebetulan
momen wisuda April ITB 2022 ini bertepatan dengan bulan ke enam setelah saya
tiba di Taiwan bulan Oktober tahun sebelumnya. Menurut teori, masa honeymoon
berlangsung selama enam bulan juga. Jadi untuk saya sepertinya culture
shock stage seperti konsep juga berlaku. Untungnya setelah menonton acara
wisuda saya bisa melanjutkan aktivitas seperti biasa kembali, tidak terlalut
dalam kesedihan atau tiba-tiba ingin pulang. Salah satunya tinggal di asrama
juga membantu mengurangi homesick karena saya tidak sendirian di kamar
dan ada teman saat pulang ke rumah.
Bandung,
dengan segala hal yang ada di dalamnya, menyimpan kenangan tersendiri bagi
orang-orang yang pernah tinggal. Tahun ini Kota Kembang sudah berusia ke-212. Wilujeung
milangkala! Masih banyak yang dapat diperbaiki dari kota ini. Jika kita
berusaha dan berkolaborasi bersama, semoga Bandung bisa menjadi kota dengan
fasilitas publik yang nyaman dan inklusif.
Komentar
Posting Komentar