Zaman sekarang memfoto makanan sebelum disantap, merekam pemandangan di tempat yang dikunjungi, atau swafoto bersama ketika bertemu teman merupakan hal yang biasa. Apalagi dengan kamera ponsel yang semakin canggih, foto bagus dapat dihasilkan hanya dengan satu gerakan jari. Namun sepertinya saya agak anomali karena jarang memfoto.
Sekarang
saya malah menyesal karena sedikit sekali dokumentasi tempat yang dikunjungi
atau kegiatan yang diikuti. Jadinya ketika mau menunjukkan foto kepada orang
lain, atau saat mau mencari gambar pendukung untuk tulisan, saya kesulitan. Di
internet memang ada gambar orang lain yang bisa digunakan. Namun kalau pakai
gambar dokumentasi sendiri rasanya lebih puas .
Seringkali saya
tidak dapat menemukan foto untuk memberikan ilustrasi terhadap tulisan yang
saya buat. Misalnya saat menulis buku tentang pengalaman di Taiwan, saya ingin
menceritakan tentang sistem pemilahan dan pembuangan sampah yang baik. Namun di
galeri HP tidak ada foto tempat sampah yang dipisah-pisah dan momen membuang
sampah ke truk sampah yang berkeliling. Atau ketika diundang untuk presentasi
di sebuah forum agrikultur di Brazil, saya bertemu dengan orang dari berbagai
negara di dunia dengan idenya yang juga keren. Saya ingin menceritakan apa saja
hal menarik yang saya dapatkan dari diskusi selama satu pekan tersebut. Namun nihil
foto dan video bersama para delegasi dan selama aktivitas di sana. Padahal
belum tentu saya bisa bertemu lagi para orang hebat yang dikenal selama
rangkaian acara ini.
Awalnya
saya ingin menerapkan konsep mindfulness. Sebisa mungkin ketika makan, tidak
ada ponsel di meja. Saat berkunjung ke suatu tempat nikmati momen saat itu dan perhatikan
pemandangan di sekeliling. Momen berkunpul dengan teman sebaiknya dihabiskan
dengan lebih banyak mengobrol, bukan terpaku pada gawai masing-masing.
Ternyata, mindful
bukan berarti mengeliminasi kehadiran ponsel dari kehidupan sehari-hari
kita. Mengambil gambar sebentar untuk mengabadikan pemandangan atau aktivitas
tidak akan mengganggu kita dalam menikmati momen saat ini. Asalkan jangan
sampai kita terlalu sibuk berfoto atau swafoto sampai tidak memperhatikan lingkungan
sekitar.
Saya
diingatkan dengan konsep ini dari lagu ending anime Jujutsu Kaisen. Anime
ini bercerita tentang Yuuji Itadori, seorang anak kelas X SMA dari Kota Sendai,
yang memakan objek terkutuk. Akibatnya ia kesurupan roh dukun sakti jaman
dahulu yang sempat berbuat makar di Jepang. Roh yang masuk tersebut tidak dapat
dikeluarkan. Akan sangat berbahaya jika roh tersebut mengamuk. Karenanya,
asosiasi dukun sempat memutuskan untuk memberikan hukuman mati kepada pemuda
berambut merah muda ini. Sambil menunggu eksekusi, ia dipindahkan dari sekolah
negeri biasa ke sekolah khusus para dukun.
Pada lagu ending
yang berjudul Give it Back dari grup musik Cö Shu Nie visual yang
digunakan adalah sudut pandang Yuuji yang sedang merekam aktivitas
sehari-harinya. Ada foto dan video sudut-sudut di bangunan sekolahnya, momen-momen
dengan teman sekelasnya, sampai liburan dengan kakak kelasnya ke pantai.
Yuuji (Kiri Atas) yang Mengabadikan Momen Bersama Teman-Teman dengan Ponselnya |
Dokumentasi yang diabadikan dari HP si tokoh utama ini terlihat sederhana tapi amat berkesan baginya. Yuuji yang tahu bahwa usianya yang tidak lama lagi karena akan dieksekusi ingin mengumpulkan memori-memori yang dibuatnya bersama teman-temannya. Karena tahu waktunya terbatas, ia menghargai setiap momen yang dilaluinya dan ingin menyimpan kenangan tersebut. Lagu ending yang bernada sedih ini juga mengonfirmasi hal tersebut. Liriknya bercerita tentang suara hati bocah SMA ini yang ingin masa mudanya dikembalikan.
Jadi dengan mengambil foto untuk mengabadikan aktivitas tidak semerta-merta mengganggu perhatian kita. Asalkan tidak berlebihan, kita masih bisa mindful untuk memikmati momen saat ini. Malahan nantinya foto tersebut akan sangat berguna untuk diceritakan ulang dan menyimpan memori di masa yang akan datang. Foto dan video dapat menjadi kenangan atas momen yang tidak dapat diulang.
Komentar
Posting Komentar