Ada kalanya kita merasa enggan untuk menyaksikan film tertentu atau membaca manga, dan bagi saya, hal tersebut kerap terjadi. Sejumlah karya kreatif ada yang saya hindari, dengan alasan yang cukup unik. Alasannya bukan karena kualitas karya tersebut kurang, melainkan karena ada unsur dalam cerita yang membuat saya merasa takut atau tidak nyaman. Salah satunya adalah kisah tentang tokoh yang tiba-tiba meninggal dunia.
Ambil contoh film Mugen Train dari seri Kimetsu no Yaiba. Dalam film tersebut, terdapat karakter bernama Rengoku Kyojurou yang meninggal di tangan iblis. Berita tentang kematian karakter ini membuat saya enggan untuk menyaksikan film tersebut.
Rengoku yang Menemui Ajalnya di Film Mugen Train. Sumber: Viu |
Bicara soal ini dengan teman, dia memberikan sudut pandang baru yang menarik. Menurutnya, ada alasan psikologis di balik keengganan saya dalam menikmati karya tersebut. Dia berpendapat bahwa kemungkinan ada trauma masa lalu yang belum teratasi yang mempengaruhi keputusan saya. Saya mungkin telah memproyeksikan figur nyata ke dalam karakter fiksi, dan ada harapan bahwa tokoh tersebut akan selalu ada dan tetap bersama saya. Namun, kenyataannya, tokoh yang diidamkan ini tiba-tiba menghilang, bisa karena meninggal atau alasan lainnya.
Refleksi tersebut ternyata cukup relevan. Saya ingat, sempat memodelkan sosok ayah saya pada karakter fiksi dalam film. Beberapa karakter ayah tercermin dengan jelas pada karakter dalam karya fiksi tersebut. Namun, sosok yang saya harapkan selalu ada ini wafat secara mendadak ketika saya masih SMA.
Begitu pula dengan alasan lain yang membuat saya tidak ingin menonton film tertentu, yaitu karena film tersebut akan berakhir atau selesai. Contohnya, ada Digimon Adventure: Last Evolution Kizuna. Film ini adalah penutup dari petualangan Taichi, Agumon, dan kawan-kawannya.
Digimon adalah salah satu serial anime favorit saya saat kecil, dan melihat petualangan mereka berakhir, rasanya sangat berat. Saya tidak ingin menontonnya karena ini merupakan film terakhir dari teman masa kecil saya. Jika dipikir-pikir, mungkin ini ada kaitannya dengan kenangan masa kecil saya tentang persahabatan yang diharapkan bertahan lama hingga dewasa, namun ternyata tidak bisa diwujudkan karena kita sibuk dengan urusan masing-masing dan sudah tidak seakrab dulu.
Melalui introspeksi ini, saya menyadari bahwa trauma atau hambatan psikologis memang dapat mempengaruhi preferensi dalam menonton film, membaca buku, atau menikmati karya fiksi lainnya. Menyadari hal ini, bisa membantu saya dalam menghadapi dan mengatasi trauma tersebut. Dan tentu saja, meski sulit, saya akan berusaha untuk lebih terbuka dengan karya-karya yang memiliki elemen-elemen yang mungkin membuat saya tidak nyaman, sebagai bagian dari proses penerimaan dan penyembuhan.
Komentar
Posting Komentar