Kakek saya sering pindah tugas ke beberapa daerah di Indonesia. Kalau berpindah tempat dinas, pasti keluarga juga di ajak. Jadi sekolah om, tante, dan ayah saya juga berpindah-pindah. Saya sempat merasa ini dengan mereka karena bisa banyak bahasa daerah dan punya teman di banyak kota. Misalnya tante-tante saya merasakan SD di Semarang, SMP di Balikpapan, SMA di Denpasar dan Bandung. Jadi mereka jago berbahasa Jawa, Banjar, Bali, dan Bandung. Karena kuliah di Bali, ayah saya bahkan sangat fasih berbahasa Bali. Makanya kalau bicara dengan ibu saya dan keluarganya di Bali juga lancar dengan bahasa daerah.
Rasa iri
tersebut timbul salah satunya karena saya tinggal di Bandung dari lahir, SD,
SMP, SMA, hingga kuliah. Bahasa daerah yang saya kuasai hanya bahasa Sunda.
Itupun karena saya belajar bahasa Sunda baru-baru ini. Bahasa Bali saya
merupakan pasive speaker. Jika ada orang yang berbicara dalam bahasa ini
saya cukup paham, tetapi tidak dapat menanggapinya.
Namun ada sebuah
momen yang membuat saya bersyukur karena semua sekolah saya ada di satu kota
yang sama. Momen tersebut adalah ketika saya mau melakukan legalisasi untuk
ijazah SD, SMP, dan SMA. Lokasi ketiga sekolah saya berdekatan. SD saya teletak
di dekat balai kota. SMPnya berjarak sekitar 500m dari SD. Dan hanya
membutuhkan waktu kurang dari 5 menit untuk mencapai SMA saya kalau naik sepeda
dari SMP. Legalisasi dokumen pada ketiga instansi tersebut membutuhkan waku
kurang dari satu jam. Dan setelahnya kalau saya mau melegalisasi ijazah S1,
jaraknya juga tidak terlalu jauh dari SMA.
Bagunan SD, SMP, dan SMA Saya yang Berdekatan |
Sebuah perjalanan pendidikan yang terpusat di satu kota memiliki kelebihan dan kekurangan. Meski saya sempat merasa iri dengan keluarga saya yang memiliki pengalaman beragam di berbagai daerah, saya mulai menyadari bahwa setiap pilihan memiliki hikmahnya. Bersekolah di lokasi yang berdekatan, misalnya, memberikan saya kemudahan dalam administrasi.
Komentar
Posting Komentar