Saya pernah mendengar cerita dari dosen saya yang ketika mengajak teman orang asingnya ke Indonesia, temannya kagum. Ia berkata, "Wah, Indonesia luas ya. Kita sudah berkendara 8 jam, masih di Indonesia. Sudah terbang 3 jam, masih di Indonesia. Dan sudah naik kapal 5 jam masih tetap di Indonesia juga."
Indonesia memang luas dan areanya beragam. Jarak dari Aceh
ke Papua kalau di Eropa sudah melewati beberapa negara.
Salah satu perjalanan saya yang paling lama dan berkesan
adalah ketika ke Kepulauan Togean, Kecamatan Tojo Una-Una, di Sulawesi Tengah untuk mengikuti kegiatan
1000 Guru Traveling and Teaching pada tahun 2016. Perjalanan ini merangkum
segala cara: udara, darat, dan laut, dengan total durasi hampir dua hari penuh.
Jembatan Kayu di Pulau Papan di Kepulauan Togean |
Ketika itu saya masih bekerja di Balikpapan. Pertama, saya
naik pesawat dari Balikpapan ke Palu. Durasi penerbangannya sekitar 55 menit.
Setelah berkumpul dengan tim 1000 Guru Sulawesi Tengah di meeting point di tengah Kota
Palu, kami berangkat naik travel untuk menuju Kota Ampana. Driver-nya
mengingatkan, "Perjalanan kita jauh, dua belas jam lho." Ternyata apa
yang dikatakan sang pengemudi tidak terbukti. Kami berangkat pukul 5 sore dari
Palu. Dan akhirnya tiba di pelabuhan di Ampana pukul 4 dini hari. Durasinya hanya sebelas jam. Hehehe.
Saya tidur hampir di sepanjang perjalanan. Namun saya
sempat terbangun sekitar pukul 11 atau 11.30 malam karena kendaraan kami
berhenti. Ada teman kami yang mabuk perjalanan dan minta berhenti untuk muntah.
Jalanan dari Palu berkelok-kelok karena melewati pengunungan.
Setelah bersih-bersih dan sholat shubuh di mushola dekat
pelabuhan, kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kapal laut ke pulau
Togean. Kapal yang digunakan merupakan kapak nelayan berukuran kecil. Bukan
kapal feri yang besar.
Perahu kami lepas sauh pukul 6 pagi.
Ketika awal berangkat kami masih semangat. Sebagian orang
ada yang tidur-tiduran di bagian lambung kapal dan sebagian lainnya memilih
untuk untuk di atas dek. Saya memilih untuk duduk di bagian atas karena di
bawah kapal bau solar dari mesin kapal.
Setelah matahari naik semakin tinggi, saya dan teman-teman
yang duduk di atas merasa kepanasan karena tidak ada penutup. Ada yang memilih
untuk menutup diri dengan jaket atau sarung. Namun sinar teriknya matahari
tetap menembus kain. Saya memilih untuk turun ke dek. Dengan menutup hidung,
aroma pembakaran solar bisa lebih ditahan.
Namun, perjalanan di kapal ini merupakan salah satu
perjalanan laut dengan pemandangan paling indah yang pernah saya alami.
Sepanjang perjalanan, kami melihat hamparan laut biru. Jika airnya dangkal kami
dapat melihat terumbu karang dan ikan-ikan yang berenang di antaranya.
Dan hal yan paling membuat saya takjub adalalah ketika ada
rombongan lumba-lumba yang berenang di sekitar kapal kami. Ketika kami sedang
tidak fokus memperhatikan laut, ada salah seorang teman yang bersorak bahwa ada
lumba-lumba. Kami pun segera melihat ke bawah kapal dan mendapati tidak hanya
satu, melainkan kawanan lumba-lumba sedang berenang mengikuti kapal.
Hewan-hewan tersebut berenang sangat dekat, bahkan saya merasa mungkin dapat
menggapainya. Kawanan tersebut berenang bersama kami sekitar lima menit sebelum
akhirnya menuju ke arah lainnya. Untungnya ada salah satu teman saya yang
berhasil mengabadikan momen tersebut.
Kawanan Lumpa-Lumba di Bawah Perahu Kami. Dokumentasi oleh: @Sadlisyam |
Sekitar delapan
jam telah kami lalui di lautan.
Akhirnya, kami tiba di Kepulauan Togean pukul 2 siang. Hamparan laut yang indah
menyambut kami. Rasa lelah pun hilang saat disambut dengan hangat oleh
masyarakat sekitar dan menyantap hidangan laut yang disajikan.
Perjalanan ini merupakan yang terpanjang bagi saya. Satu jam udara, sebelas jam darat, dan delapan jam laut. Kalau mengingatnya, saya takjub bahwa dulu memiliki kekuatan untuk menembuhnya. Tetapi sejak saat itu kalau menempuh perjalanan yang jauh, pengalaman ini selalu menjadikan patokan dalam diri saya. "You've been in harder situation. Kamu pasti bisa melaluinya."
Komentar
Posting Komentar