Sebagai pria, ada momen tertentu yang bikin saya ikut meringis meski tidak mengalami langsung. Misalnya, kalau melihat ada pria lain yang ter tendang di bagian vital, rasanya langsung ngilu. Apalagi kalau membaca berita kriminal yang sampai tega memotong kemaluan laki-laki. Membayangkannya saja bikin bergidik.
Menariknya, praktik ini bukan sekadar cerita kriminal modern. Di zaman kerajaan-kerajaan Tiongkok dulu, ada istilah eunuch: sebutan untuk pria yang sudah kehilangan bagian penting dari tubuhnya.
Eunuch
di Cina Kuno
Eunuch
biasanya bekerja di istana, khususnya di istana belakang (rear palace),
tempat tinggal istri, selir, dan pelayan kaisar yang jumlahnya bisa mencapai
ribuan. Untuk menjaga kehormatan para wanita ini, hanya perempuan atau pria
yang sudah dikebiri yang diperbolehkan bekerja di sana. Bahkan dokter istana
belakang pun harus menjalani kebiri terlebih dahulu.
Selain
sebagai pelayan, kebiri juga digunakan sebagai bentuk hukuman. Tawanan perang
atau penjahat tertentu sering dikebiri lalu diperkerjakan di istana. Perlahan,
peran eunuch berkembang lebih jauh. Bukan hanya sebagai penjaga harem,
tapi juga penasihat kaisar, pengatur intrik politik, bahkan pejabat tinggi yang
punya pengaruh besar.
Proses
kastrasi (kebiri) ini jauh dari kata sederhana. Biasanya dilakukan pada anak
laki-laki dari keluarga miskin. Prosedurnya bisa berupa pengangkatan testis
saja, atau sekaligus penis, tergantung kebutuhan istana.
Tentu saja, ini prosedur yang sangat berbahaya. Dilakukan oleh orang yang dianggap “ahli” (kadang eunuch senior) dan tanpa teknologi medis modern. Risiko infeksi, pendarahan, hingga kematian sangat besar. Mereka yang selamat pun menjalani pemulihan panjang dan harus beradaptasi dengan perubahan tubuh: tidak lagi bisa bereproduksi, perubahan hormon yang memengaruhi suara dan fisik, hingga dampak psikologis mendalam.
Dari
Sejarah ke Dunia Fiksi
Kalau
bicara eunuch, saya langsung teringat salah satu novel (yang juga diadaptasi
jadi anime) The Apothecary Diaries (Kusuriya no Hitorigoto). Tokoh
utamanya, Maomao, bekerja sebagai tabib di istana dan berada di bawah komando Jinshi,
seorang eunuch.
Setiap
kali membaca kata eunuch dalam novel itu, saya refleks spontan: ngilu!
Padahal ini cuma fiksi, tapi sejarah yang melatarbelakangi kisahnya nyata
adanya. Dan di situlah letak menariknya: dunia fiksi sering kali berakar dari
realitas sejarah, bahkan dari hal-hal yang terdengar ekstrem sekalipun.
Kisah
eunuch memberi kita gambaran betapa kerasnya kehidupan di masa lalu. Demi
bertahan hidup atau naik status sosial, seseorang rela mengorbankan sesuatu
yang sangat mendasar dari tubuhnya.
Di
sisi lain, sejarah ini juga menambah kedalaman pada cerita fiksi seperti The
Apothecary Diaries. Karakter eunuch bukan hanya “bumbu eksotis”, tapi
representasi dari dinamika kekuasaan, intrik, dan penderitaan manusia yang
pernah benar-benar ada.
Jadi, setiap kali saya membaca kata eunuch dalam novel atau anime, rasa ngilu itu kembali hadir. Tapi justru di situlah menariknya. Fiksi yang berhasil membuat kita merenung tentang realitas.
.png)
Komentar
Posting Komentar