Saya tidak punya akun TikTok.
Intagram
saja, saya tidak aktif. Punya akunnya, tetapi tidak rutin menggunakan. Seperti
yang sudah diceritakan di postingan
ini bahwa penggunaan Instagram berdampak buruk, akhirnya saya mengurangi
penggunaannya. Jadi ketika TikTok mulai populer ketika pandemi tahun 2020, saya
tidak termasuk orang yang terbawa gelombang keramaiannya.
Di
saat orang lain membicarakan potongan video viral di TikTok, saya terkadang
bingung apa yang sedang diomongkan. Awalnya, saya masih menghindari penggunakan
platform berbagi vido dari Tiongkok ini karena banyak berita yang mengabarkan
tentang kecanduan TikTok yang berisiko memendekkan rentang fokus (attention
span). Aplikasi ini didesain untuk membuat penggunanya terus menerus
menggunakan hingga melakukan endless scrolling, menggulir layer ponsel
tanpa henti untuk terus meilhat konten pada suatu sosial media.
Kadang,
saya menemukan bahwa TikTok juga ada manfaatnya. Beberapa teman menemukan acara
menarik atau tempat baru untuk dikunjungi. Misalnya di grup teman-teman di
Sydney ada yang membagikan tentang acara diskon pakaian bekas di Olympic Park.
Di situs WhatsOnSydney,
yang biasa jadi referensi utama saya untuk kegiatan-kegiatan di kota ini, tidak
ada informasi mengenai festivalnya.
Contoh lainnya, Agung (Agung Hari Nugroho) pernah membagikan informasi
tentang pohon-pohon Sakura yang sudah bermekaran di Stasiun Metro Cherrybrook.
Kalau tidak dapat informasi dari TikTok bisa jadi pengetahuan saya tentang
tempat melihat Sakura di ibukota New South Wales ini hanya ada di Auburn
Japanese Garden. Ini adalah beberapa contoh saya merasakan manfaat TikTok
tetapi dari orang lain, bukan secara langsung.
Akhirnya
saya merasakan manfaat media sosial yang dikenal dengan nama Douyin di Tiongkok
ini ketika menyusun materi pelajaran Bahasa Indonesia. Materi yang saya ingin
sampaikan adalah tentang budaya dan tradisi makan di Indonesia. Salah satu
kontennya adalah alat makan. Penelusuran Google menyarahkan saya ke sebuah artikel
yang membahas tentang Tiktoker Australia yang menyadari bahwa selama ini
kebiasaan memakan nasi dengan garpu kurang efektif dan mengakui bahwa menyendok
nasi dengan sendok jauh lebih logis.
Videonya
berdurasi hanya 16 detik. Kontennya singkat dan tepat sasaran. Ini yang saya
butuhkan untuk bahan materi. Dan seharusnya dapat membuat audiens yang
merupakan siswi kelas 8 lebih terhubung (relate): kreator video
sama-sama dari Australia dan masih relatif muda. Video tersebut cocok untuk
dimasukkan ke presentasi saya.
Saya
pun tertarik untuk mengeksplorasi konten lainnya yang bisa mendukung materi
presentasi. Saya akhirnya menemukan beberapa konten yang sangat relevan seperti
bagaimana cara memotong tumpeng dan mengambil lauk pauknya, manatiang piriang,
tradisi menata piring, yang dilakukan pramusaji di restoran padang yang
bisa membawa sampai dua puluh piring sekaligus di satu tangan, hingga cara
memakan papeda. Videonya hanya berdurasi paling lama 30 menit. Cocok diputar
bagi generasi Z yang katanya jangka waktu fokusnya tidak terlalu lama.
![]() |
Menata Piring ala Restoran Padang. Sumber: rmlembahanai |
Beberapa
konten tidak cukup hanya menampilkan gambar saja. Lebih akan interaktif jika
diputarkan video. Misalnya saya bisa menampilkan gambar pelayan yang sudah
memegang belasan piring lauk Minang di tangannya. Jika ditambah dengan video
pendek tentang proses bagaimana satu per satu piring ditumpuk, akan lebih seru.
Saya menemukan video berdurasi 35 detik dari akun rmlebahanai
yang memperlihatkan langkah demi langkahnya. Benar dugaan saya, para siswi
kagum dan mengatakan, “Waah” saat video tersebut diputar.
Contoh
lainnya adalah makan papeda. Dengan memperlihatkan bagaimana menggulung makanan
dari sagu ini dengan sumpit, kemudian memasukkannya ke dalam kuah ikan akan
lebih menggambarkan bagaimana cara mengonsumsinya. Terlebih video TikTok dari
akun kattybutterfly36
memperlihatkan seorang kakak yang menyantap papeda dengan lauk ikan kuah kuning
dengan sangat lezat.
![]() |
Makan Papeda dengan Ikan Kuah Kuning. Sumber: kattybutterfly36 |
Di
kelas, setelah menonton video anak-anak lebih terbayang saat praktik menggulung
papeda lalu mencemplungkan ke kuah
kuning. Di TikTok kebetulan ada yang membuat tutorial membuat papeda dengan
menggunakan tepung tapioka. Tepung sagu agak sulit dicari di Sydney. Ada sih
yang menjual sagoo pearl untuk Boba. Tetapi kalau tepung sebagai bahan
bakunya sejauh ini saya belum menemukan walau sudah mengunjungi beberapa toko
Asia dan Indonesia. Jadi saya membuat aktivitias interaktif dengan papeda
dengan tepung tapioka sebagai substitusi.
Sebelumnya,
sumber utama jika mau menampikan video adalah YouTube. Misalnya ketika mau
memperlihatkan pengibaran bendera pusaka di Istana Negara saat perayaan hari
kemerdekaan Indonesia, saya menggunakan video dari kanal resmi Sekretariat
Negara. Durasi total video lebih dari 4 jam. Saya perlu menggeser video ke
bagian ketika Paskibra mulai melangkah tegap maju serta mempercepat ke bagian
ketika bendera diambil dari presiden hingga ketika bendera siap dikibarkan di
tiang. Kalau memutarkan video YouTube, bisa jadi membutuhkan untuk
memotong-motong video agar durasi tidak terlalu lama. Kalau menggunakan video
dari TikTok, durasinya biasanya sudah pas.
Untungnya
jika hanya ingin melihat video di TikTok, saya tidak perlu memiliki akun.
Berbeda dengan Facebook yang harus mengakses dengan akun. Jadi saya tetap bisa
eksplorasi tanpa harus mendaftar. Walaupun ada keterbatasan tidak dapat menaruh
komentar dan membagikan videonya secara langsung. Tidak apa. Toh saja juga pada
dasarnya jarang mengemukakan pendapat dan menanggapi orang lain di media
sosial.
Ternyata, bagi saya TikTok bermanfaat saat mencari video pendukung materi aja. Durasinya pas bagi anak-anak muda yang tidak bisa sulit untuk dalam waktu lama. Dan hal yang paling bagus: saya tidak perlu registrasi untuk mengakses videonya!
Komentar
Posting Komentar