“With languages, you are at home anywhere” – Edmund de Waal
Lahir,
tumbuh besar, hingga menamatkan pendidikan di Bandung, tetapi saya tidak bisa
berbahasa Sunda. Lebih tepatnya bisa sedikit berbahasa Sunda, tapi belum
mencapai level mahir. Terlebih bahasa Sunda memiliki undak usuk basa, tingkatan-tingkatan
berbahasa, yang membedakan ragam bahasa berdasarkan keadaan yang berbicara,
yang diajak berbicara dan apa yang dibicarakannya. Saya lebih sering berbahasa Sunda
yang kasar.
Kebanyakan
bahasa Sunda yang saya pelajari dari teman. Jadi kosakata saya masih terbatas
pada bahasa pergaluan dan belum terlalu cakap berbahasa halus. Terlahir dari
ayah yang seorang keturunan Sunda-Jawa dan Ibu yang merupakan orang Bali
membuat komunikasi dalam keluarga menggunakan bahasa Indonesia. Dan kalau berbicara
hal yang orang tua rasa anak-anaknya tidak perlu tahu, ayah dan ibu menggunakan
bahasa Bali. Akibat tidak pernah diajarkan, saya pun tidak dapat berbahasa
Bali.
Saya seringkali
iri dengan Om dan Tante dari sisi ayah karena mereka bisa banyak bahasa daerah.
Kakek saya pernah ditugaskan di beberapa kota di Indonesia seperti Cimahi,
Jakarta, Semarang, Denpasar, dan Balikpapan hingga akhirnya menetap di Bandung.
Berpindah-pindah daerah dan selama menetap keluarga saya juga secara tidak
langsung bisa berbahasa daerah saat tinggal di tempat tersebut. Ayah saya
berkuliah di Universitas Udayana, membuatnya jago bahasa daerah Bali. Di grup
keluarga, bahasa daerah yang muncul beragam mulai dari bahasa Jawa, Sunda, Bali
hingga Bugis. Ketika berkunjung ke Bali misalnya, mereka bisa merasa di rumah
karena fasih berbahasa Bali saat bertemu teman-teman sekolahnya dahulu.
Berkeinginan
untuk meningkatkan kemampuan bahasa daerah, saya memulainya dengan mendengarkan
percakapan bahasa Sunda. Kalau anak sekarang menyebutnya mendengarkan Podcast.
Kemampuan mendengar saya lumayan, jadi bisa paham mayoritas obrolannya. Paling
senang saya mendengarkan Canghegar (Carita Ngeunah jeung Segar) yang merupakan
program dari stasiun radio RAMA FM. Mendengarkan Canghegar membuat saya dapat
menambah kosakata baru dan belajar pemakaian kata tersebut. Selain itu karena
memang kontennya yang jenaka membuat saya ikut tertawa. Momen yang paling saya
ingat adalah dengan mendengarkan rekaman cerita lucu ini membuat saya tetap
terjaga di jalan ketika sedang perjalanan
pulang malam-malam dari kampus. Setelah beraktivitas seharian, saat hendak
pulang keringkali kantuk mulai datang. Sambil belajar bahasa sambil menikmati
candaan Canghegar, otak yang bekerja membuat mata tidak tiba-tiba menutup.
Selain Canghegar
baru baru ini saya menemukan sebuah channel YouTube yang kontennya
tentang dubbing bercandaan dalam bahasa Sunda. Channel yang
bernama Apil ini mengambil
video stand up comedy dan sketsa lawakan, yang kebanyakan dari Afrika,
kemudian memberikan isian suara dalam bahasa Sunda. Saya cukup terhibur dengan konten-kontennyab
karena bisa mendapatkan hiburan sambil meningatkan kemampuan berbahasa.
Motivasi
untuk lebih fasih berbahasa lokal ini semakin diperkuat setelah berkesempatan belajar
bahasa Mandarin di Taiwan. Ketika pertama kali datang dan tidak dapat bercakap
bahasa Mandarin sama sekali, saya sempat merasa kesulitan berbahasa Inggris
dengan orang Taiwan. Namun setelah beberapa pekan berkenalan dengan bahasa yang
katanya bahasa tersulit di dunia ini, saya jadi lebih nyaman untuk berkomunikasi
dengan orang lokal. Berbelanja menjadi lebih mudah, menanyakan arah lebih
gampang, dan obrolan ringan dengan orang di jalan jadi lebih sering.
Ada
beberapa momen berkesan dari bercakap dengan orang Taiwan menggunakan bahasa
Mandarin. Ketika tas jinjing saya ketinggalan di bus saya menelepon operator
bus untuk mengabarkan hal ini dan meminta tolong untuk dicarikan. Saya merasa kejadian
itu membuat semua kosakata yang pernah dipelajari di kelas dikeluarkan.
Alhamdulilah tas tersebut dapat ditemukan di pool bus lengkap beserta
isinya. Kejadian lain yang membuat hati tersentuh adalah saat menunggu teman di
salah satu stasiun MRT di Taipei. Saya dan
Bang Azlan sedang menunggu Dinia untuk makan siang bersama di rumah
makan Malaysia di dekat stasiun Zhisan. Sambil menunggu kami mampir ke bakery
di stasiun untuk melihat-lihat. Sang pemilik toko mulai mengajak kami
berbincang-bincang tentang asal dari mana, kuliah dimana, kenapa ingin belajar
bahasa Mandarin dan sebagainya. Obrolannya berlangsung cukup lama, sekitar hampir
setengah jam hingga akhirnya Dinia sampai. Saat berpamitan, sang pemilik
memberikan beberapa roti untuk kami bawa pulang. Dan beliau juga bilang kalau
ke Taipei lagi untuk mampir ke tokonya. Momen-momen seperti ini yang membuat saya
merasa belajar bahasa lokal menjadikan feels like home.
Sayangnya belakangan iniDengan berkomunikasi menggunakan bahasa lokal dapat membuat membangun rapport dengan orang lain lebih mudah. Ketika mau meminta bantuan pun lebih ringan. Dan dengan berbicara bahasa daerah membuat kita dapat merasa sedang berada di rumah dan tidak kesulitan tinggal di manapun.
Komentar
Posting Komentar